Sabtu, 10 Maret 2012

Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:54:00 AM
Khatimah



Al-Qur’an adalah firman Allah Swt. yang dinukilkan secara mutâwatir dengan bahasa Arab yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat Al-Nâs. Al-Qur’an dengan segala mukjizat yang terkandung di dalamnya mampu melumpuhkan seluruh kegiatan penentang Al-Qur’an yang menolak kebenaran dan Al-Haqq (Allah Swt.).
Di dalamnya terkandung hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya kepada Sang Pencipta dan sesama manusia. Realisasi dari hukum-hukum tersebut dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
Pertama, hukum i’tiqâdhiyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan akidah.
Kedua, hukum akhlâqiyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan akhlak dan tasawuf.
Ketiga, hukum syar’iyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Pada realisasinya hukum ini terbagi menjadi dua, yaitu: ibadah dan mu’âmalah.
Penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum di satu sisi disampaikan secara global dan di sisi lain secara terperinci. Gaya bahasa yang digunakan dalam menjelaskan hukum pun mudah dipahami oleh sebagian kalangan yang memang mumpuni terhadap ilmu yang mempelajari gaya bahasa Al-Qur’an.
Dalam posisinya sebagai firman Allah Swt. yang dinukilkan secara mutâwatir, Al-Qur’an merupakan sumber hukum dan dalil fikih pertama dalam penetapan hukum. Berbeda dengan qirâ`at syadzdzah yang kedudukannya bukan sebagai Al-Qur’an dan tidak dapat dijadikan landasan dalam penetapan hukum.
Makalah ini ditulis dan diselesaikan atas izin Allah Swt. dengan segala kemurahan dan kasih sayang-Nya. Semua kesalahan yang terdapat dalam makalah ini murni kesalahan penulis. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi terciptanya penulisan yang lebih baik lagi.
Wallâhu A’lam

  

Daftar Pustaka:

1.      Al-Syaukâni, Muhammad bin ‘Ali, Irsyâdu`l Fuhûl Ilâ Tahqîqi`l Haq Min ‘Ilmi`l Ushûl, Dâr Al-Fadhîlah, 2000.
2.      Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, edisi terjemah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2010.
3.      Al-Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah, Ûshûlu`l Fiqhi`l Islâmî, Jilid I. Dâr Al-Fikr, Beirut, 1986.
4.      Fahd, Mujamma’ Al-Malik, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah, 1426 H.
5.      Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir, Ushul Fiqh, Jilid 1, PT Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2000.
6.      Zaidan, Dr. Abdul Karim, Al-Wajîz Fî Ushûli’l Fiqh, Mu`assasah Al-Risâlah, Beirut, 2009.


Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:51:00 AM

         Kehujahan Al-Qur’an

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Al-Qur’an diturunkan secara mutawâtir dengan kedudukannya sebagai qath’iyyu`l wurûd, maka tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah Swt. Alasan lain bahwa Al-Qur’an benar-benar diturunkan oleh Allah Swt. adalah mukjizat yang terkandung di dalamnya.
Para ulama bahkan seluruh umat muslim sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber dan dalil hukum fikih pertama. Karena kedudukannya sebagai sumber hukum utama dan pertama, maka bagi seseorang yang hendak mencari suatu hukum atas suatu kejadian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Selama masalah dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Kekuatan hujah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fikih terkandung dalam ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat manusia untuk mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah Swt. berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.[1]
Dari pembahasan ini, kita dapat membuat sebuah pertanyaan bahwa; Apakah bacaan yang syadz (Al-Qirâ`at Al-Syadzdzah) dapat dijadikan sumber dalam penetapan hukum?. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya bagi kita untuk mengetahui macam-macam qirâ’at.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam karyanya yang berjudul Mabâhits Fî Ulûmi`l Qur’ân bahwa sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qirâ’at menjadi enam macam:
1.    Mutawâtir, yaitu qirâ`at yang dinukil oleh banyak perawi dan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung sampai Rasulullah Saw.
2.     Masyhûr, yaitu qirâ`at yang sanadnya sahih tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Utsmâni  dan juga terkenal di kalangan para ahli qirâ`at. Para ulama menyebutkan bahwa qirâ`at macam ini termasuk qirâ`at yang dapat digunakan.
3.      Âhâd, yaitu qirâ`at yang sanadnya sahih tetapi menyalahi rasm Utsmâni dan kaidah bahasa Arab. Qirâ`at macam ini tidak dapat diamalkan bacaannya.
4.    Syadz, yaitu bacaan yang tidak sahih sanadnya, seperti qirâ`at  مَلكَ يومَ الدين(Q.S. Al-Fatihah: 4) dengan bentuk fi’il madhi dan menashabkan يومَ.
5.      Maudhu’, yaitu qirâ`at yang tidak ada asalnya.
6.      Mudarraj, yaitu qirâ`at yang di dalamnya terdapat tambahan tafsir. Seperti qirâ`at Ibnu Abbas: ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم في مواسم الحج فإذا أفضتم من عرفات (Q.S. Al-Baqarah: 198), kalimat في مواسم الحج adalah penafsiran yang disisipkan Ibnu Abbas ke dalam ayat.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan menambahkan bahwa empat macam yang terakhir ini tidak dapat diamalkan. Menurut jumhur ulama, qirâ`at sab’ah itu mutawâtir dan dapat diamalkan. Dan yang tidak mutawâtir, seperti masyhûr, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.[2]
Setelah mengetahui sedikitnya pengetahuan mengenai macam-macam qirâ`at dan pengetahuan bahwasannya qirâ`at syadzdzah bukanlah Al-Qur’an, selanjutnya kita bahas secara khusus mengenai qirâ`at syadzdzah apakah boleh dijadikan hujah atau tidak. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, di antaranya:
1.   Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat tidak boleh menjadikan qirâ`at syadzdzah sebagai sumber penetapan hukum. Dengan begitu, kewajiban puasa untuk kafarat sumpah yang tiga hari tidak mesti berturut-turut. Alasan kelompok ini ialah bahwa Nabi Muhammad Saw. dituntut untuk menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an kepada suatu kaum yang tentunya ucapan mereka itu merupakan kekuatan dalam menetapkan hukum. Kaum tersebut tidak mungkin secara bersama-sama tidak menukilkan apa yang mereka terima dari Nabi Saw. Periwayat yang menyampaikan sebuah pesan –jika seorang saja- kemudian mengatakan bahwa pesan tersebut adalah Al-Qur’an, ada kemungkinan ia salah. Jika ia tidak menyebutkan pesan tersebut sebagai Al-Qur’an, maka orang lain akan berada dalam keraguan antara apakah pesan tersebut berasal dari Nabi Saw. atau pendapat dia sendiri. Dengan demikian, maka pesan tersebut tidak dapat dijadikan hujah yang kuat.
2.   Hanafiyyah dan Hanabilah menerima qirâ`at syadzdzah sebagai sumber penetapan hukum. Dengan demikian, kelompok ini menetapkan puasa tiga hari berturut-turut dalam kewajiban kafarat sumpah. Alasan mereka adalah meskipun qirâ`at syadzdzah periwayatannya tidak meyakinkan sebagai Al-Qur’an, tetapi setidaknya sama dengan hadits âhâd. Sedangkan hadits âhâd dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[3]
Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah dengan alasan bahwa qirâ`at syadzdzah bukanlah Al-Qur’an karena tidak dinukil secara mutawâtir. Bahkan qirâ`at syadzdzah pun tidak termasuk sebagai sunnah, karena pada dasarnya qirâ`at syadzdzah dinukil atau diriwayatkan sebagai Al-Qur’an dan bukan sebagai sunnah.[4]


[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 73.
[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, op. cit., hal. 220.
[3] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 51.
[4] Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili, op. cit., hal.427.
Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:48:00 AM
        Isyarat Al-Qur’an terhadap Hukum

Al-Qur'an Al-Karîm itu qath'iyyu`l wurûd yang sampai kepada kita secara mutawâtir. Maka hukum-hukum yang terkandung di dalamnya adalah qath'iyyu` al-tsubût (pasti ketetapannya). Namun dali-dalil yang menunjukkan kepada hukum itu ada yang sudah jelas (Qath'iyyatu Al-Dilâlah) dan ada juga yang masih samar (Zhanniyyatu`l Dilâlah).
1.      Qath'iyyatu Al-Dilâlat
Ayat-ayat yang qath'iyyatu al-dilâlat adalah lafazh Al-Qur'an yang menunjukan kepada satu makna dan mudah difahami, seperti ayat-ayat tentang waris, hudûd dan kafarat. Allah Swt. berfirman:

"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: baagian seorang anak lelaki sama dengan baagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta...." (Q.S. Al-Nisâ: 11)

Dalam ayat lain disebutkan:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera.” (Q.S. Al-Nûr: 2)

Dua pertiga, setengah dan seratus telah jelas maknanya. Dan dalil-dalil tersebut tidak mengandung makna yang lain.

2.      Zhanniyyatu`l Dilâlah
Ayat-ayat yang zhanniyyatu`l dilâlah adalah lafazh Al-Qur'an yang masih samar maknanya dan mengandung lebih dari satu makna, seperti lafazh qurû` dalam firman Allah Swt.:

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurû`." (Q.S. Al-Baqarah: 228)

Lafazh al-qar`u (القرء) dalam bahasa Arab mengandung dua makna; suci dan haid. Maka ayat ini mengandung dua makna pula; tiga kali suci atau tiga kali haid. Dilâlah yang menunjukkan kepada salah satu dari dua makna terebut adalah zhanni, bukan qath'i.
Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:47:00 AM

       Gaya Bahasa Al-Qur’an dalam Menjelaskan Hukum

Al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang beraneka ragam dalam menjelaskan hukum. Dengan keadaannya sebagai mukjizat dan kitab petunjuk, Al-Qur’an memperlihatkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara memberikan motivasi untuk mengerjakan dan membuat jera terhadap orang yang menentang.
Dari sini kita dapat mengetahui suatu pekerjaan yang bersifat wajib untuk dikerjakan dengan nash Al-Qur’an yang menunjukkan kepada kewajibannya dengan bentuk perintah (Al-Amru), seperti:

“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Q.S. Al-Thalâq: 2)

Atau dengan perbuatan yang diwajibkan terhadap lawan bicara (pembaca Al-Qur’an), seperti:
 
“diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Terkadang pula Al-Qur’an menjelaskan perbuatan yang wajib dengan memberikan pahala dan ganjaran bagi pelakunya, seperti:

“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam surga.” (Q.S. Al-Nisâ: 13)

Al-Qur’an menjelaskan suatu perbuatan yang haram dengan menyebutkannya dalam bentuk larangan (Nahyi), seperti:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S. Al-An’âm: 151)

Terkadang pula Al-Qur’an menjelaskan ancaman atau menyebutkan hukuman bagi pelakunya, seperti:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q.S. Al-Nisâ: 10)

Dengan demikian, maka wajib bagi setiap orang yang hendak mengambil kesimpulan hukum dari Al-Qur’an untuk mengetahui gaya bahasa yang digunakannya, mengetahui tata cara Al-Qur’an dalam menjelaskan suatu hukum dan mengetahui indikasi dalil yang menunjukkan kepada wajib (wujûb), haram (hirmah) atau boleh (ibâhah).
Dari penjelasan di atas, dapat diambil suatu pelajaran bahwa:
1.      Suatu hukum masuk dalam kategori wajib (al-wujûb) atau sunnah (al-nadbu) apabila dalil yang digunakan berbentuk perintah atau anjuran. Atau dalam kondisi lain disebutkan dalam Al-Qur’an yang dibarengi dengan pujian, kecintaan (mahabbah), sanjungan, kebaikan, pahala dan ganjaran bagi pelakunya.
2.      Suatu hukum masuk dalam kategori haram (al-hirmah) atau karâhah apabila dalil tersebut menggunakan bentuk larangan atau tuntutan untuk menjauhi dan meninggalkan pekerjaan. Atau dalam kondisi lain disebutkan dalam beberapa bentuk, yaitu: celaan bagi pelakunya, sebab datangnya azab dan murka Allah Swt., sebab masuk neraka, laknat bagi pelakunya, menyifati pelakunya dengan hewan atau setan dan lain sebagainya.
3.      Suatu hukum masuk dalam kategori Ibâhah apabila dalil yang digunakan menunjukan kepada Ibâhah, seperti: penghalalan, pengizinan, meniadakan dosa dan larangan (Nafyu`l Haraj dan Nafyu`l Junâh).[1]


[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 124.

Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:43:00 AM
Penjelasan Al-Qur'an terhadap Hukum

Di dalam Al-Qur’an terkandung penjelasan mengenai seluruh hukum syar’i. Penjelasan tersebut dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu:

1. Penjelasan hukum secara global
Dalam bagian ini, disebutkan kaidah-kaidah dan landasan umum yang menjadi asas dalam pembuatan hukum dan cabang-cabangnya. Adapun contoh dari kaidah-kaidah dan landasan umum tersebut di antaranya adalah:

a. Musyawarah

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Q.S. Al-Syûra: 38)

Dalam ayat lain disebutkan,

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Q.S. Âli-‘Imrân: 159)

b. Berbuat adil

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (Al-Nisâ: 58)

c. Dosa setiap orang ditanggung masing-masing

“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali pada dirinya sendiri.” (Q.S. Al-An’âm: 164)

d. Siksa sesuai dengan perbuatan

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (Q.S. Al-Syûra: 40)

e. Keharaman harta orang lain

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 188)

f. Tolong-menolong dalam kebaikan dan sesuatu yang bermanfaat untuk umat

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Mâ`idah: 2)

g. Bolehnya melanggar larangan dalam keadaan darurat

“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (Q.S. Al-Baqarah: 173)

Di antara hukum-hukum yang bersifat global dalam Al-Qur’an adalah:

a. Perintah zakat

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (Q.S. Al-Taubah: 103)

b. Qishash

“diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Q.S. Al-Baqarah: 178)


c. Jual beli dan riba

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)

Dengan sifatnya yang global, maka datanglah sunnah yang menjelaskan hukum-hukum tersebut secara terperinci. Seperti hukum zakat; macam-macam zakat dan mustahiqnya, tata cara qishash, jual beli; kehalalan dan syarat-syaratnya, haramnya riba beserta macam-macamnya.

Adapun hikmah disebutkannya hukum-hukum secara global dalam Al-Qur’an adalah supaya hukum tersebut bersifat luas dan sesuai dengan peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan baru yang terjadi di masa yang akan datang.[1]


2. Penjelasan hukum secara terperinci

Allah Swt. memberikan penjelasan secara terperinci di dalam Al-Qur’an sehingga dapat dilaksanakan apa adanya, meskipun tidak dijelaskan dalam sunnah Rasulullah Saw. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa hukum yang disebutkan secara terperinci, di antaranya: ukuran mawârits yang terdapat dalam surat Al-Nisâ ayat 11, 12 dan 176; sanksi dalam zina yang disebutkan dalam surat Al-Nûr ayat 4; penjelasan mengenai perempuan yang haram untuk dinikahi sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Nisâ ayat 23 dan lain sebagainya.[2]

__________________________________
[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 123.
[2] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 69.

Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:37:00 AM
Hukum-hukum yang Terkandug dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an ini mengandung beberapa hukum yang beraneka ragam. Secara garis besar, hukum-hukum dalam Al-Qur’an terbagi kepada tiga macam:
1.      Hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah, seperti; iman kepada Allah Swt. iman kepada Malaikat-Nya, iman kepada kitab-Nya, iman kepada Rasul-Nya dan iman kepada hari akhir. Hukum-hukum ini dinamai dengan Al-Ahkâm Al-I’tiqâdiyyah (الاحكام الإعتقادية) yang dapat dikaji dalam ilmu Tauhid.
2.      Hukum-hukum yang berkaitan dengan perilaku seseorang secara personal serta mengarah pada pendidikan jiwa dan meneguhkannya. Hukum ini disebut dengan hukum akhlâqiyyah atau khuluqiyyah yang kemudian dikembangkan dalam ilmu Akhlak.[1]
3.      Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam hubungannya dengan Allah Swt. dan sesama manusia. Hukum ini disebut hukum ‘amaliyyah atau hukum syar’iyyah yang pembahasannya dikembangkan dalam ilmu Syariah. Hukum ‘amaliyyah ini secara garis besar terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Ibadah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam hubungannya dengan Allah Swt. seperti; shalat, puasa, zakat dan haji.
Kedua: Mu’âmalah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam hubungannya dengan sesama manusia. Dilihat dari segi pemberlakuannya bagi hubungan sesama manusia, bentuk hukum mu’âmalah ini terdapat beberapa macam, di antaranya[2]:
a.    Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut kebutuhannya akan harta bagi keperluan hidupnya. Bentuk hukum ini disebut hukum mu’âmalah dalam arti khusus, seperti: jual beli, sewa menyewa dan pinjam meminjam.
b.     Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan kekeluargaan dan pernikahan. Hukum ini disebut hukum munâkahât, seperti: nikah, cerai, rujuk dan nasab.
c.      Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan waris dan wasiat. Hukum ini disebut hukum mawârits.
d.      Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan usaha pencegahan terjadinya kejahatan atas harta, maupun kejahatan penyaluran nafsu syahwat atau menyangkut kejahatan dan sanksi bagi pelanggarnya. Bentuk hukum ini disebut hukum jinâyah atau pidana. Contohnya seperti: pencurian, pembunuhan dan perzinahan.
e.      Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan usaha penyelesaian akibat tindak kejahatan di pengadilan. Bentuk hukum ini disebut hukum qadha` atau hukum acara. Contohnya seperti: kesaksian, gugatan dan bukti di pengadilan.
f.     Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum ini disebut dengan hukum dustûriyyah atau hukum tata negara, seperti khalifah, baitul mal dan pemerintahan.
g.    Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam suatu negara dengan manusia di negara lainnya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Hukum ini disebut dengan hukum dauliyyah atau hukum internasional.



[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 121.
[2] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 72.
Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:33:00 AM
Mukjizat Al-Qur’an

Secara bahasa, i’jâz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan dalam pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu. Dan mu’jizat secara istilah adalah sesuatu yang dapat melemahkan, sehingga orang lain tidak dapat membuat hal yang sama atau melebihi.[1]
Setiap Rasul yang diutus oleh Allah Swt. memiliki mukjizat tersendiri. Mukjizat tersebut rata-rata berupa suatu hal yang bersifat fisik dan dapat dilihat oleh mata telanjang. Pada masa Nabi Musa As. berkembang ilmu sihir dikalangan masyarakat, seperti tali menjadi ular. Nabi Musa As. tampil dengan mukjizatnya merubah tongkat menjadi ular yang dapat mengalahkan sihir-sihir lainnya. Pada masa Nabi Isa As. berkembang perdukunan dan pengobatan, seperti mengobati berbagai penyakit yang dialami masyarakat pada saat itu. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat mengobati buta dan kusta. Nabi Isa As. dengan izin Allah Swt. dapat menyembuhkan buta dan kusta.
Pada masa Nabi Muhammad Saw. diutus, masyarakat selalu berbangga dengan kemampuan bersyair dengan keindahan bahasa yang dikompetisikan secara berkala. Nabi Muhammad Saw. tampil dengan Al-Qur’an yang keindahan bahasanya tidak dapat ditandingi oleh siapapun.
Memperhatikan beberapa contoh mukjizat di atas, maka I’jâz yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menampakan kebenaran Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul yang diutus dengan memperlihatkan kelemahan orang-orang Arab dalam menghadapi Al-Qur’an.
Mukjizat Al-Qur’an terdapat pada kumpulan lafazh dan makna yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an memiliki keluarbiasaan yang secara akal tidak mungkin dibuat oleh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an berasal dari Tuhan Semesta Alam, bukan dari manusia atau jin. Bentuk-bentuk kemukjizatan Al-Qur’an di antaranya adalah:
1.      Keindahan bahasa yang mengalahkan keindahan syair bangsa Arab. Allah Swt. menantang kepada orang-orang yang meragukan kebenaran Al-Qur’an dengan memintanya untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an, sepuluh surat atau bahkan satu surat saja. Tetapi Allah Swt. menyatakan bahwa seluruh manusia tidak sanggup untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an –walaupun satu surat saja- meskipun bergabung dengan jin. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:

 “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi sebagian yang lain.” (Q.S. Al-Isrâ: 88)

2.      Pemberitaan Al-Qur’an tentang suatu peristiwa di masa yang akan datang dan peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Sebagaimana firman Allah Swt.:

“Alif Lâm Mîm. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah itu akan menang. Dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemerdekaan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ar-Rum: 1-4)

3.      Isyarat Al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini dan tidak diketahui pada masa sebelumnya. Sebagaimana firman-Nya:

 “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?.” (Q.S. Al-Anbiya`: 30)


[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, PT Logos Wacana Ilmu, Ciputat,  cet. II, 2000, hal. 62.
Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:15:00 AM
Pengertian Al-Qur'an

Sebagian orang mengatakan bahwa membuat pengertian Al-Qur’an itu tidaklah perlu. Hal ini disebabkan karena kata Al-Qur’an telah masyhûr di kalangan masyarakat sebagai firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Namun perkataan tersebut tidaklah benar, karena pengertian tersebut ditinjau dari segi pemahaman global saja. Ulama ushul mendefinisikan Al-Qur’an untuk menjelaskan “apakah boleh shalat menggunakan Al-Qur’an atau tidak?”, “apakah ada hujah dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i atau tidak?”, atau “apakah orang yang mengingkari Al-Qur’an itu kafir atau tidak?”. Maka yang dimaksud dengan pendefinisian Al-Qur’an di sini adalah pengertian Al-Qur’an sebagai dalil fikih.[1]
Secara bahasa, kata Al-Qur’an semakna dengan qirâ`ah, yaitu akar kata dari qa-ra-`a, qirâ`atun dan qur`ânan. Qa-ra-`a memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Allah Swt. menjelaskan:

 “Sesungguhnya Kami-lah yang bertanggung jawab mengumpulkan (dalam dadamu) dan membacakannya (pada lidahmu). Maka apabila Kami telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu dengan perantara Jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu.” (Q.S. Al-Qiyâmah: 17-18)

Qur`ânah dalam ayat tersebut berarti qirâ`ah. Kata qur`ânah merupakan akar kata (mashdar) dalam bentuk fu’lân seperti ghufrân dan syukrân. Dalam pengertian ini, kata qur`ânan sama dengan maqru` (yang dibaca) –satu penamaan isim maf’ul sama dengan mashdar. Maka kata qur`ânan disebut sebagai lafazh musytarak, yaitu satu kata yang memiliki beberapa makna.[2]
Secara khusus, kata Al-Qur’an ditujukan kepada sebuah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantara Malaikat Jibril. Penamaan tersebut tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an dengan keseluruhan lafazh secara global. Meskipun seseorang membacakan satu ayat saja, maka ayat tersebut disebut sebagai Al-Qur’an.
Secara terminologi, banyak sekali ulama yang membuat sebuah pengertian mengenai Al-Qur’an. Imam Al-Syaukâni (1250 H)[3] dalam kitabnya Irsyâdu`l Fuhûl Ilâ Tahqîqi`l Haqqi Min ‘Ilmi`l Ushûl menyebutkan sebuah pengertian untuk Al-Qur’an sebagai berikut[4]:
كلام الله المنزل على محمد المتلو المتواتر

“Firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Muhammad Saw. dan dibacakan secara mutawâtir.”

Di sisi lain, Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah[5]:

كلام الله تعالى المنزل على رسول الله صلى الله عليه وسلم باللسان العربي للإعجاز بأقصر سورة منه، المكتوب في المصاحف المنقول بالتواتر، المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتخة المختوم بسورة الناس.

“Firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dengan bahasa Arab sebagai mukjizat hingga pada surat pendek (sekalipun), tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawâtir, membacanya dinilai ibadah, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat Al-Nâs.”

Pengertian yang dibuat oleh Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili ini telah mencakup beberapa pengertian yang dimaksudkan oleh Imam Al-Syaukâni dan para ulama lainnya. Pengertian tersebut mengandung unsur-unsur pokok yang menjelaskan hakikat Al-Qur’an, di antaranya:
1.      Bahwasannya Al-Qur’an adalah firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, kitab-kitab samawi lainnya seperti Zabur, Taurat dan Injil tidak disebut Al-Qur’an karena tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
2.      Al-Qur’an adalah kumpulan lafazh dan makna yang lafazh tersebut diturunkan dengan bahasa Arab. Allah Swt. berfirman:
 “Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (Q.S. Al-Zukhruf: 3)

Dengan demikian, maka hadits nabawi tidak disebut Al-Qur’an karena lafazh-nya bukan dari Allah Swt., meskipun maknanya diwahyukan dari Allah Swt. Demikian juga tafsir Al-Qur’an (meskipun berbahasa Arab) dan terjemahnya tidak disebut dengan Al-Qur’an. Karenanya, shalat yang menggunakan terjemahan Al-Qur’an tidak sah.
3.      Bahwasannya Al-Qur’an sampai kepada kita secara mutawâtir. Dengan demikian, bacaan-bacaan lainnya seperti qirâ`ah syadzdzah (قراءة شاذة) tidak disebut dengan Al-Qur’an karena tidak dinukilkan secara mutawâtir. Seperti sebuah ayat yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwasannya beliau membaca firman Allah Swt: (فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام متتابعات) dengan tambahan kata mutatâbi’ât (متتابعات). Bacaan ini mengandung penjelaan bahwa kata mutatâbi’ât adalah tafsir untuk kalimat tsalâtsati ayyâm (puasa tiga hari) menurut pendapat Ibnu Mas’ud.
4.      Bahwasannya Al-Qur’an adalah mukjizat, dengan pengertian bahwa Al-Qur’an melemahkan semua manusia untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an. Mukjizat ini telah terbukti dengan penentangan Al-Qur’an terhadap orang-orang Arab untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an, tetapi mereka semua tidak mampu. Kemudian Al-Qur’an menantang dengan meminta untuk membuat sepuluh surat saja, tetapi mereka masih tidak mampu. Hingga akhirnya mereka ditantang untuk membuat satu surat saja, tetapi mereka tetap saja tidak mampu[6]. Allah Swt. berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi sebagian yang lain.” (Q.S. Al-Isrâ: 88)

Di samping empat unsur pokok tersebut, terdapat beberapa unsur tambahan sebagai penjelasan dari pengertian-pengertian lainnya, yaitu:
1.      Bahwasannya Al-Qur’an terpelihara dari penambahan atau pengurangan sesuatu pun. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Hijr ayat 9:

 “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Maka tidak ada penambahan maupun pengurangan, dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menambah atau mengurangi sesuatu dari Al-Qur’an karena Allah Swt. yang langsung menjaganya.
2.      Kalimat “membacanya dinilai ibadah” dalam pengertian yang disebutkan oleh Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili memberikan penjelasan bahwa orang yang membaca Al-Qur’an berhak mendapat pahala. Maka dari itu, hadits qudsi yang notabene adalah firman Allah Swt. tidak dinilai ibadah karena lafazhnya bukan dari Allah Swt. tetapi dari Nabi Saw. sendiri.


[1] Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Ûshûlu`l Fiqhi`l Islâmî, Jilid I, Dâr Al-Fikr, Beirut, cet. I, 1986, hal.421.
[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, edisi terjemah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, cet. V, 2010, hal. 16.
[3] Beliau adalah Muhammad bin Ali bin Abdillah Al-Syaukâni, dilahirkan pada hari senin 28 Dzulqo'dah 1173 H. Beliau hafal Al-Qur'an sebelum genap berumur 10 tahun. Keluasan dan kepandaiannya membuat beliau menjadi seorang yang ahli dalam bidang hadits, ulumul qur’an, fikih dan ushul fikih. Beliau wafat pada tahun 1250 H.
[4] Muhammad bin ‘Ali Al-Syaukâni, Irsyâdu`l Fuhûl Ilâ Tahqîqi`l Haq Min ‘Ilmi`l Ushûl, hal. 171
[5] Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili, op. cit., hal.421.
[6] Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajîz Fî Ushûli`l Fiqh, Mu`assasah Al-Risâlah, Beirut, cet. I, 2009, hal. 119.

* Makalah ini disampaikan dalam kajian reguler Al-Risâlah di sekretariat PCI Muhammadiyah, Bawwabah II, Nasr City,  Kairo - Mesir.
Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 10:16:00 AM
Syeikh Hani Ar-Rifa'i dilahirkan di Jeddah pada tahun 1974 M/ 1394 H. Beliau menyelesaikan sarjananya di Universitas Malik Bin Abdul Aziz di Jeddah fakultas Adab jurusan Dirasat Islamiyyah.

Beliau hafal Al-Quran di usia yang masih muda. Pertama kali menghafal Al-Qur'an di masjid Hasan Arab bersama Syeikh Muhammad Yusuf (Imam Masjid Al-Amir). Kemudian menyempurnakan hafalannya dibawah bimbingan Syeikh Muhammad bin Abdurrahim Asyisyi (dari Mesir) dengan riwayat Hafs 'an Ashim juga kepada Syeikh Ali Jabir (Imam Masjidil Haram). (sumber)
Download Murottal Hani Ar-Rifa'i:
1. Q.S. Al-Fatihah
2. Q.S. Al-Baqarah
3. Q.S. Ali-'Imran
4. Q.S. An-Nisa
5. Q.S. Al-Maidah
6. Q.S. Al-An'ama
7. Q.S. Al-A'raf
8. Q.S. Al-Anfal
9. Q.S. At-Taubah
10. Q.S. Yunus
11. Q.S. Hud
12. Q.S. Yusuf
13. Q.S. Ar-Ra'd
14. Q.S. Ibrahim
15. Q.S. Al-Hijr
16. Q.S. An-Nahl
17. Q.S. Al-Isra
18. Q.S. Al-Kahfi
19. Q.S. Maryam
20. Q.S. Toha
21. Q.S. Al-Anbiya
22. Q.S. Al-Hajj
23. Q.S. Al-Mu'minun
24. Q.S. An-Nur
25. Q.S. Al-Furqan
26. Q.S. Asy-Syu'ara
27. Q.S. An-Naml
28. Q.S. Al-Qashas
29. Q.S. Al-'Ankabut
30. Q.S. Ar-Rum
31. Q.S. Luqman
32. Q.S. As-Sajdah
33. Q.S. Al-Ahzab
34. Q.S. Saba'
35. Q.S. Fathir
36. Q.S. Yasin
37. Q.S. Ash-Shaffat
38. Q.S. Shad
39. Q.S. Az-Zumar
40. Q.S. Ghafir / Al-Mukmin
41. Q.S. Fushilat
42. Q.S. Asy-Syura
43. Q.S. Az-Zukhruf
44. Q.S. Ad-Dukhan
45. Q.S. Al-Jatsiyah
46. Q.S. Al-Ahqaf
47. Q.S. Muhammad
48. Q.S. Al-Fath
49. Q.S. Al-Hujurat
50. Q.S. Qaf
51. Q.S. Adz-Dzariyat
52. Q.S. Ath-Thur
53. Q.S. An-Najm
54. Q.S. Al-Qamar
55. Q.S. Ar-Rahman
56. Q.S. Al-Waqi'ah
57. Q.S. Al-Hadid
58. Q.S. Al-Mujadalah
59. Q.S. Al-Hasyr
60. Q.S. Al-Mumtahanah
61. Q.S. Ash-Shaf
62. Q.S. Al-Jumu'ah
63. Q.S. Al-Munafiqun
64. Q.S. At-Taghabun
65. Q.S. Ath-Thalaq
66. Q.S. At-Tahrim
67. Q.S. Al-Mulk
68. Q.S. Al-Qalam
69. Q.S. Al-Haqqah
70. Q.S. Al-Ma'arij
71. Q.S. Nuh
72. Q.S. Al-Jin
73. Q.S. Al-Muzzammil
74. Q.S. Al-Muddatstsir
75. Q.S. Al-Qiyamah
76. Q.S. Al-Insan
77. Q.S. Al-Mursalat
78. Q.S. An-Naba'
79. Q.S. An-Nazi'at
80. Q.S. 'Abasa
81. Q.S. At-Takwir
82. Q.S. Al-Infithar
83. Q.S. Al-Muthaffifin
84. Q.S. Al-Insyiqaq
85. Q.S. Al-Buruj
86. Q.S. Ath-Thariq
87. Q.S. Al-A'la
88. Q.S. Al-Ghasyiah
89. Q.S. Al-Fajr
90. Q.S. Al-Balad
91. Q.S. Asy-Syams
92. Q.S. Al-Lail
93. Q.S. Adh-Dhuha
94. Q.S. Asy-Syarh / Al-Insyirah
95. Q.S. At-Tin
96. Q.S. Al-'Alaq
97. Q.S. Al-Qadr
98. Q.S. Al-Bayyinah
99. Q.S. Al-Zalzalah
100. Q.S. Al-'Adiyat
101. Q.S. Al-Qari'ah
102. Q.S. At-Takatsur
103. Q.S. Al-'Ashr
104. Q.S. Al-Humazah
105. Q.S. Al-Fil
106. Q.S. Quraisy
107. Q.S. Al-Ma'un
108. Q.S. Al-Kautsar
109. Q.S. Al-Kafirun
110. Q.S. An-Nashr
111. Q.S. Al-Masad / Al-Lahab
112. Q.S. Al-Ikhlas
113. Q.S. Al-Falaq
114. Q.S. An-Nas



Download Al-Qur'an Lengkap 114 Surat


Keterangan:


1. Jika file yang di klik muncul tab baru dan tidak mendownload secara otomatis, reload kembali tab tersebut dengan mengklik tombol Enter di addres bar-nya.
2. Untuk memudahkan, gunakan Internet Download Manager (IDM) sebagai alat bantu download.
3. Jika ada link yang rusak atau tidak bisa didownload, kritik maupun saran bisa langsung dilaporkan ke pemilik blog lewat kotak komentar di bawah.

Jazakumullahu khairan katsiran...