Pengertian Al-Qur'an
Sebagian orang mengatakan bahwa membuat pengertian
Al-Qur’an itu tidaklah perlu. Hal ini disebabkan karena kata Al-Qur’an telah masyhûr
di kalangan masyarakat sebagai firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. Namun perkataan tersebut tidaklah benar, karena pengertian
tersebut ditinjau dari segi pemahaman global saja. Ulama ushul mendefinisikan
Al-Qur’an untuk menjelaskan “apakah boleh shalat menggunakan Al-Qur’an atau
tidak?”, “apakah ada hujah dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i atau tidak?”,
atau “apakah orang yang mengingkari Al-Qur’an itu kafir atau tidak?”. Maka yang
dimaksud dengan pendefinisian Al-Qur’an di sini adalah pengertian Al-Qur’an
sebagai dalil fikih.
Secara bahasa, kata Al-Qur’an semakna dengan qirâ`ah,
yaitu akar kata dari qa-ra-`a, qirâ`atun dan qur`ânan. Qa-ra-`a
memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Allah Swt. menjelaskan:
“Sesungguhnya Kami-lah yang bertanggung jawab
mengumpulkan (dalam dadamu) dan membacakannya (pada lidahmu). Maka apabila Kami
telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu dengan perantara Jibril), maka bacalah
menurut bacaannya itu.” (Q.S.
Al-Qiyâmah: 17-18)
Qur`ânah dalam
ayat tersebut berarti qirâ`ah. Kata qur`ânah merupakan akar kata
(mashdar) dalam bentuk fu’lân seperti ghufrân dan syukrân.
Dalam pengertian ini, kata qur`ânan sama dengan maqru` (yang
dibaca) –satu penamaan isim maf’ul sama dengan mashdar. Maka kata
qur`ânan disebut sebagai lafazh musytarak, yaitu satu
kata yang memiliki beberapa makna.
Secara khusus, kata Al-Qur’an ditujukan kepada sebuah
kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantara Malaikat Jibril.
Penamaan tersebut tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an dengan keseluruhan lafazh
secara global. Meskipun seseorang membacakan satu ayat saja, maka ayat tersebut
disebut sebagai Al-Qur’an.
Secara terminologi, banyak sekali ulama yang membuat
sebuah pengertian mengenai Al-Qur’an. Imam Al-Syaukâni (1250 H) dalam kitabnya Irsyâdu`l Fuhûl Ilâ Tahqîqi`l Haqqi
Min ‘Ilmi`l Ushûl menyebutkan sebuah pengertian untuk Al-Qur’an sebagai
berikut:
كلام الله المنزل
على محمد المتلو المتواتر
“Firman Allah Swt. yang
diturunkan kepada Muhammad Saw. dan dibacakan secara mutawâtir.”
Di sisi lain, Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili
menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah:
كلام الله تعالى المنزل على رسول الله صلى الله عليه وسلم
باللسان العربي للإعجاز بأقصر سورة منه، المكتوب في المصاحف المنقول بالتواتر،
المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتخة المختوم بسورة الناس.
“Firman
Allah Swt. yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dengan bahasa Arab sebagai mukjizat
hingga pada surat pendek (sekalipun), tertulis
dalam mushaf, dinukilkan secara mutawâtir, membacanya dinilai ibadah, diawali
dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat Al-Nâs.”
Pengertian yang dibuat oleh Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili
ini telah mencakup beberapa pengertian yang dimaksudkan oleh Imam Al-Syaukâni
dan para ulama lainnya. Pengertian tersebut mengandung unsur-unsur pokok yang
menjelaskan hakikat Al-Qur’an, di antaranya:
1.
Bahwasannya
Al-Qur’an adalah firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Dengan demikian, kitab-kitab samawi lainnya seperti Zabur, Taurat dan Injil
tidak disebut Al-Qur’an karena tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
2.
Al-Qur’an
adalah kumpulan lafazh dan makna yang lafazh tersebut diturunkan
dengan bahasa Arab. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya
Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (Q.S. Al-Zukhruf: 3)
Dengan demikian, maka hadits nabawi tidak disebut
Al-Qur’an karena lafazh-nya bukan dari Allah Swt., meskipun maknanya
diwahyukan dari Allah Swt. Demikian juga tafsir Al-Qur’an (meskipun berbahasa
Arab) dan terjemahnya tidak disebut dengan Al-Qur’an. Karenanya, shalat yang
menggunakan terjemahan Al-Qur’an tidak sah.
3.
Bahwasannya
Al-Qur’an sampai kepada kita secara mutawâtir. Dengan demikian,
bacaan-bacaan lainnya seperti qirâ`ah syadzdzah (قراءة شاذة) tidak
disebut dengan Al-Qur’an karena tidak dinukilkan secara mutawâtir.
Seperti sebuah ayat yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwasannya beliau
membaca firman Allah Swt: (فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام
متتابعات) dengan tambahan kata
mutatâbi’ât (متتابعات). Bacaan ini mengandung penjelaan bahwa kata mutatâbi’ât
adalah tafsir untuk kalimat tsalâtsati ayyâm (puasa tiga hari) menurut
pendapat Ibnu Mas’ud.
4.
Bahwasannya
Al-Qur’an adalah mukjizat, dengan pengertian bahwa Al-Qur’an melemahkan semua
manusia untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an. Mukjizat ini telah
terbukti dengan penentangan Al-Qur’an terhadap orang-orang Arab untuk membuat
yang serupa dengan Al-Qur’an, tetapi mereka semua tidak mampu. Kemudian
Al-Qur’an menantang dengan meminta untuk membuat sepuluh surat saja, tetapi mereka masih tidak mampu.
Hingga akhirnya mereka ditantang untuk membuat satu surat saja, tetapi mereka tetap saja tidak
mampu. Allah Swt. berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian
mereka menjadi sebagian yang lain.”
(Q.S. Al-Isrâ: 88)
Di samping empat unsur pokok tersebut, terdapat
beberapa unsur tambahan sebagai penjelasan dari pengertian-pengertian lainnya,
yaitu:
1.
Bahwasannya
Al-Qur’an terpelihara dari penambahan atau pengurangan sesuatu pun. Sebagaimana
firman Allah Swt dalam surat
Al-Hijr ayat 9:
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.”
Maka tidak ada penambahan maupun pengurangan, dan
tidak ada satu makhluk pun yang dapat menambah atau mengurangi sesuatu dari
Al-Qur’an karena Allah Swt. yang langsung menjaganya.
2.
Kalimat
“membacanya dinilai ibadah” dalam pengertian yang disebutkan oleh Prof. Dr.
Wahbah Al-Zuhaili memberikan penjelasan bahwa orang yang membaca Al-Qur’an
berhak mendapat pahala. Maka dari itu, hadits qudsi yang notabene adalah firman
Allah Swt. tidak dinilai ibadah karena lafazhnya bukan dari Allah Swt.
tetapi dari Nabi Saw. sendiri.