Sabtu, 10 Maret 2012

Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:51:00 AM

         Kehujahan Al-Qur’an

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Al-Qur’an diturunkan secara mutawâtir dengan kedudukannya sebagai qath’iyyu`l wurûd, maka tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah Swt. Alasan lain bahwa Al-Qur’an benar-benar diturunkan oleh Allah Swt. adalah mukjizat yang terkandung di dalamnya.
Para ulama bahkan seluruh umat muslim sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber dan dalil hukum fikih pertama. Karena kedudukannya sebagai sumber hukum utama dan pertama, maka bagi seseorang yang hendak mencari suatu hukum atas suatu kejadian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Selama masalah dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Kekuatan hujah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fikih terkandung dalam ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat manusia untuk mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah Swt. berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.[1]
Dari pembahasan ini, kita dapat membuat sebuah pertanyaan bahwa; Apakah bacaan yang syadz (Al-Qirâ`at Al-Syadzdzah) dapat dijadikan sumber dalam penetapan hukum?. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya bagi kita untuk mengetahui macam-macam qirâ’at.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam karyanya yang berjudul Mabâhits Fî Ulûmi`l Qur’ân bahwa sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qirâ’at menjadi enam macam:
1.    Mutawâtir, yaitu qirâ`at yang dinukil oleh banyak perawi dan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung sampai Rasulullah Saw.
2.     Masyhûr, yaitu qirâ`at yang sanadnya sahih tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Utsmâni  dan juga terkenal di kalangan para ahli qirâ`at. Para ulama menyebutkan bahwa qirâ`at macam ini termasuk qirâ`at yang dapat digunakan.
3.      Âhâd, yaitu qirâ`at yang sanadnya sahih tetapi menyalahi rasm Utsmâni dan kaidah bahasa Arab. Qirâ`at macam ini tidak dapat diamalkan bacaannya.
4.    Syadz, yaitu bacaan yang tidak sahih sanadnya, seperti qirâ`at  مَلكَ يومَ الدين(Q.S. Al-Fatihah: 4) dengan bentuk fi’il madhi dan menashabkan يومَ.
5.      Maudhu’, yaitu qirâ`at yang tidak ada asalnya.
6.      Mudarraj, yaitu qirâ`at yang di dalamnya terdapat tambahan tafsir. Seperti qirâ`at Ibnu Abbas: ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم في مواسم الحج فإذا أفضتم من عرفات (Q.S. Al-Baqarah: 198), kalimat في مواسم الحج adalah penafsiran yang disisipkan Ibnu Abbas ke dalam ayat.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan menambahkan bahwa empat macam yang terakhir ini tidak dapat diamalkan. Menurut jumhur ulama, qirâ`at sab’ah itu mutawâtir dan dapat diamalkan. Dan yang tidak mutawâtir, seperti masyhûr, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.[2]
Setelah mengetahui sedikitnya pengetahuan mengenai macam-macam qirâ`at dan pengetahuan bahwasannya qirâ`at syadzdzah bukanlah Al-Qur’an, selanjutnya kita bahas secara khusus mengenai qirâ`at syadzdzah apakah boleh dijadikan hujah atau tidak. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, di antaranya:
1.   Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat tidak boleh menjadikan qirâ`at syadzdzah sebagai sumber penetapan hukum. Dengan begitu, kewajiban puasa untuk kafarat sumpah yang tiga hari tidak mesti berturut-turut. Alasan kelompok ini ialah bahwa Nabi Muhammad Saw. dituntut untuk menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an kepada suatu kaum yang tentunya ucapan mereka itu merupakan kekuatan dalam menetapkan hukum. Kaum tersebut tidak mungkin secara bersama-sama tidak menukilkan apa yang mereka terima dari Nabi Saw. Periwayat yang menyampaikan sebuah pesan –jika seorang saja- kemudian mengatakan bahwa pesan tersebut adalah Al-Qur’an, ada kemungkinan ia salah. Jika ia tidak menyebutkan pesan tersebut sebagai Al-Qur’an, maka orang lain akan berada dalam keraguan antara apakah pesan tersebut berasal dari Nabi Saw. atau pendapat dia sendiri. Dengan demikian, maka pesan tersebut tidak dapat dijadikan hujah yang kuat.
2.   Hanafiyyah dan Hanabilah menerima qirâ`at syadzdzah sebagai sumber penetapan hukum. Dengan demikian, kelompok ini menetapkan puasa tiga hari berturut-turut dalam kewajiban kafarat sumpah. Alasan mereka adalah meskipun qirâ`at syadzdzah periwayatannya tidak meyakinkan sebagai Al-Qur’an, tetapi setidaknya sama dengan hadits âhâd. Sedangkan hadits âhâd dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[3]
Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah dengan alasan bahwa qirâ`at syadzdzah bukanlah Al-Qur’an karena tidak dinukil secara mutawâtir. Bahkan qirâ`at syadzdzah pun tidak termasuk sebagai sunnah, karena pada dasarnya qirâ`at syadzdzah dinukil atau diriwayatkan sebagai Al-Qur’an dan bukan sebagai sunnah.[4]


[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 73.
[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, op. cit., hal. 220.
[3] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 51.
[4] Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili, op. cit., hal.427.

0 komentar :

Posting Komentar