Kehujahan Al-Qur’an
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
Al-Qur’an diturunkan secara mutawâtir dengan kedudukannya sebagai qath’iyyu`l
wurûd, maka tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an itu benar-benar firman
Allah Swt. Alasan lain bahwa Al-Qur’an benar-benar diturunkan oleh Allah Swt.
adalah mukjizat yang terkandung di dalamnya.
Para ulama bahkan seluruh umat muslim sepakat bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber dan dalil hukum fikih pertama. Karena kedudukannya
sebagai sumber hukum utama dan pertama, maka bagi seseorang yang hendak mencari
suatu hukum atas suatu kejadian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Selama masalah dapat diselesaikan dengan
Al-Qur’an, maka tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Kekuatan hujah Al-Qur’an sebagai sumber
dan dalil hukum fikih terkandung dalam ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat
manusia untuk mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam
Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah Swt. berarti perintah untuk mengikuti apa-apa
yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.[1]
Dari pembahasan ini, kita dapat membuat
sebuah pertanyaan bahwa; Apakah bacaan yang syadz (Al-Qirâ`at
Al-Syadzdzah) dapat dijadikan sumber dalam penetapan hukum?. Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya bagi kita untuk mengetahui
macam-macam qirâ’at.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh
Manna’ Al-Qaththan dalam karyanya yang berjudul Mabâhits Fî Ulûmi`l Qur’ân
bahwa sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qirâ’at menjadi enam
macam:
1.
Mutawâtir, yaitu qirâ`at yang dinukil oleh banyak perawi
dan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung sampai
Rasulullah Saw.
2.
Masyhûr, yaitu qirâ`at yang sanadnya sahih tetapi
tidak mencapai derajat mutawâtir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm
Utsmâni dan juga terkenal di kalangan
para ahli qirâ`at. Para ulama
menyebutkan bahwa qirâ`at macam ini termasuk qirâ`at yang dapat
digunakan.
3.
Âhâd, yaitu qirâ`at yang sanadnya sahih tetapi
menyalahi rasm Utsmâni dan kaidah bahasa Arab. Qirâ`at macam ini
tidak dapat diamalkan bacaannya.
4.
Syadz, yaitu bacaan yang tidak sahih sanadnya, seperti qirâ`at مَلكَ يومَ الدين(Q.S. Al-Fatihah: 4) dengan
bentuk fi’il madhi dan menashabkan يومَ.
5.
Maudhu’, yaitu qirâ`at yang tidak ada asalnya.
6.
Mudarraj, yaitu qirâ`at yang di dalamnya terdapat
tambahan tafsir. Seperti qirâ`at Ibnu Abbas: ليس عليكم جناح أن تبتغوا
فضلا من ربكم في مواسم الحج فإذا أفضتم من عرفات (Q.S. Al-Baqarah: 198), kalimat
في
مواسم الحج adalah penafsiran yang disisipkan Ibnu Abbas ke dalam ayat.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan menambahkan
bahwa empat macam yang terakhir ini tidak dapat diamalkan. Menurut jumhur
ulama, qirâ`at sab’ah itu mutawâtir dan dapat diamalkan. Dan yang
tidak mutawâtir, seperti masyhûr, tidak boleh dibaca di dalam
maupun di luar shalat.[2]
Setelah mengetahui sedikitnya
pengetahuan mengenai macam-macam qirâ`at dan pengetahuan bahwasannya qirâ`at
syadzdzah bukanlah Al-Qur’an, selanjutnya kita bahas secara khusus mengenai
qirâ`at syadzdzah apakah boleh dijadikan hujah atau tidak. Dalam hal
ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, di antaranya:
1. Syafi’iyyah
dan Malikiyyah berpendapat tidak boleh menjadikan qirâ`at syadzdzah
sebagai sumber penetapan hukum. Dengan begitu, kewajiban puasa untuk kafarat
sumpah yang tiga hari tidak mesti berturut-turut. Alasan kelompok ini ialah bahwa
Nabi Muhammad Saw. dituntut untuk menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an kepada suatu
kaum yang tentunya ucapan mereka itu merupakan kekuatan dalam menetapkan hukum.
Kaum tersebut tidak mungkin secara bersama-sama tidak menukilkan apa yang
mereka terima dari Nabi Saw. Periwayat yang menyampaikan sebuah pesan –jika
seorang saja- kemudian mengatakan bahwa pesan tersebut adalah Al-Qur’an, ada
kemungkinan ia salah. Jika ia tidak menyebutkan pesan tersebut sebagai
Al-Qur’an, maka orang lain akan berada dalam keraguan antara apakah pesan
tersebut berasal dari Nabi Saw. atau pendapat dia sendiri. Dengan demikian,
maka pesan tersebut tidak dapat dijadikan hujah yang kuat.
2. Hanafiyyah
dan Hanabilah menerima qirâ`at syadzdzah sebagai sumber penetapan hukum.
Dengan demikian, kelompok ini menetapkan puasa tiga hari berturut-turut dalam
kewajiban kafarat sumpah. Alasan mereka adalah meskipun qirâ`at syadzdzah
periwayatannya tidak meyakinkan sebagai Al-Qur’an, tetapi setidaknya sama
dengan hadits âhâd. Sedangkan hadits âhâd dapat dijadikan sumber
dalam menetapkan hukum.[3]
Dalam hal ini penulis sependapat dengan
pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah dengan alasan bahwa qirâ`at syadzdzah
bukanlah Al-Qur’an karena tidak dinukil secara mutawâtir. Bahkan qirâ`at
syadzdzah pun tidak termasuk sebagai sunnah, karena pada dasarnya qirâ`at
syadzdzah dinukil atau diriwayatkan sebagai Al-Qur’an dan bukan sebagai
sunnah.[4]
0 komentar :
Posting Komentar