Gaya Bahasa Al-Qur’an dalam Menjelaskan Hukum
Al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang beraneka ragam dalam menjelaskan
hukum. Dengan keadaannya sebagai mukjizat dan kitab petunjuk, Al-Qur’an
memperlihatkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara memberikan
motivasi untuk mengerjakan dan membuat jera terhadap orang yang menentang.
Dari sini kita dapat mengetahui suatu pekerjaan
yang bersifat wajib untuk dikerjakan dengan nash Al-Qur’an yang menunjukkan
kepada kewajibannya dengan bentuk perintah (Al-Amru), seperti:
“Dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Q.S. Al-Thalâq: 2)
Atau dengan perbuatan yang diwajibkan
terhadap lawan bicara (pembaca Al-Qur’an), seperti:
“diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)
Terkadang pula Al-Qur’an menjelaskan
perbuatan yang wajib dengan memberikan pahala dan ganjaran bagi pelakunya,
seperti:
“Barangsiapa yang ta’at kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam surga.” (Q.S. Al-Nisâ: 13)
Al-Qur’an menjelaskan suatu perbuatan
yang haram dengan menyebutkannya dalam bentuk larangan (Nahyi), seperti:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S. Al-An’âm: 151)
Terkadang pula Al-Qur’an menjelaskan
ancaman atau menyebutkan hukuman bagi pelakunya, seperti:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q.S. Al-Nisâ: 10)
Dengan demikian, maka wajib bagi setiap
orang yang hendak mengambil kesimpulan hukum dari Al-Qur’an untuk mengetahui gaya bahasa yang
digunakannya, mengetahui tata cara Al-Qur’an dalam menjelaskan suatu hukum dan
mengetahui indikasi dalil yang menunjukkan kepada wajib (wujûb), haram (hirmah)
atau boleh (ibâhah).
Dari penjelasan di atas, dapat diambil
suatu pelajaran bahwa:
1.
Suatu
hukum masuk dalam kategori wajib (al-wujûb) atau sunnah (al-nadbu)
apabila dalil yang digunakan berbentuk perintah atau anjuran. Atau dalam
kondisi lain disebutkan dalam Al-Qur’an yang dibarengi dengan pujian, kecintaan
(mahabbah), sanjungan, kebaikan, pahala dan ganjaran bagi pelakunya.
2.
Suatu
hukum masuk dalam kategori haram (al-hirmah) atau karâhah apabila
dalil tersebut menggunakan bentuk larangan atau tuntutan untuk menjauhi dan
meninggalkan pekerjaan. Atau dalam kondisi lain disebutkan dalam beberapa bentuk,
yaitu: celaan bagi pelakunya, sebab datangnya azab dan murka Allah Swt., sebab
masuk neraka, laknat bagi pelakunya, menyifati pelakunya dengan hewan atau
setan dan lain sebagainya.
3.
Suatu
hukum masuk dalam kategori Ibâhah apabila dalil yang digunakan
menunjukan kepada Ibâhah, seperti: penghalalan, pengizinan, meniadakan
dosa dan larangan (Nafyu`l Haraj dan Nafyu`l Junâh).[1]
0 komentar :
Posting Komentar