Sabtu, 10 Maret 2012

Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:47:00 AM

       Gaya Bahasa Al-Qur’an dalam Menjelaskan Hukum

Al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang beraneka ragam dalam menjelaskan hukum. Dengan keadaannya sebagai mukjizat dan kitab petunjuk, Al-Qur’an memperlihatkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara memberikan motivasi untuk mengerjakan dan membuat jera terhadap orang yang menentang.
Dari sini kita dapat mengetahui suatu pekerjaan yang bersifat wajib untuk dikerjakan dengan nash Al-Qur’an yang menunjukkan kepada kewajibannya dengan bentuk perintah (Al-Amru), seperti:

“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Q.S. Al-Thalâq: 2)

Atau dengan perbuatan yang diwajibkan terhadap lawan bicara (pembaca Al-Qur’an), seperti:
 
“diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Terkadang pula Al-Qur’an menjelaskan perbuatan yang wajib dengan memberikan pahala dan ganjaran bagi pelakunya, seperti:

“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam surga.” (Q.S. Al-Nisâ: 13)

Al-Qur’an menjelaskan suatu perbuatan yang haram dengan menyebutkannya dalam bentuk larangan (Nahyi), seperti:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S. Al-An’âm: 151)

Terkadang pula Al-Qur’an menjelaskan ancaman atau menyebutkan hukuman bagi pelakunya, seperti:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q.S. Al-Nisâ: 10)

Dengan demikian, maka wajib bagi setiap orang yang hendak mengambil kesimpulan hukum dari Al-Qur’an untuk mengetahui gaya bahasa yang digunakannya, mengetahui tata cara Al-Qur’an dalam menjelaskan suatu hukum dan mengetahui indikasi dalil yang menunjukkan kepada wajib (wujûb), haram (hirmah) atau boleh (ibâhah).
Dari penjelasan di atas, dapat diambil suatu pelajaran bahwa:
1.      Suatu hukum masuk dalam kategori wajib (al-wujûb) atau sunnah (al-nadbu) apabila dalil yang digunakan berbentuk perintah atau anjuran. Atau dalam kondisi lain disebutkan dalam Al-Qur’an yang dibarengi dengan pujian, kecintaan (mahabbah), sanjungan, kebaikan, pahala dan ganjaran bagi pelakunya.
2.      Suatu hukum masuk dalam kategori haram (al-hirmah) atau karâhah apabila dalil tersebut menggunakan bentuk larangan atau tuntutan untuk menjauhi dan meninggalkan pekerjaan. Atau dalam kondisi lain disebutkan dalam beberapa bentuk, yaitu: celaan bagi pelakunya, sebab datangnya azab dan murka Allah Swt., sebab masuk neraka, laknat bagi pelakunya, menyifati pelakunya dengan hewan atau setan dan lain sebagainya.
3.      Suatu hukum masuk dalam kategori Ibâhah apabila dalil yang digunakan menunjukan kepada Ibâhah, seperti: penghalalan, pengizinan, meniadakan dosa dan larangan (Nafyu`l Haraj dan Nafyu`l Junâh).[1]


[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 124.

0 komentar :

Posting Komentar